Smooch

Sabtu, 22 Oktober 2016

KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK - BAGAIMANA MENYIKAPINYA?

Masih ingat kasus yang menimpa Yuyun? Tragedi yang menimpa gadis 14 tahun itu terbilang sangat tragis, karena melibatkan tidak kurang dari 16 pelaku, semuanya pemuda sekampung Yuyun sendiri, yang memperkosanya beramai-ramai dan kemudian meninggalkannya dalam kondisi sudah tidak bernyawa. Setragis-tragisnya kasus ini, itu hanya sekelumit dari daftar panjang kasus miris yang menimpa anak-anak tak berdosa di negeri kita akibat ulah para predator seksual, yang makin lama terkesan kian sadis.

Sudah sedemikian akutnya kasus kekerasan seksual terhadap anak di negeri ini, hingga mendorong diterbitkannya Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) khusus oleh Pemerintah yang mengatur mengenai pemberatan hukuman bagi predator seksual terhadap anak, dan belakangan ini disahkan menjadi hukuman tambahan di dalam UU nomor 1 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, yakni hukuman kebiri bagi pelaku yang telah berusia dewasa. KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) pun menyambut baik pemberlakuan hukuman tambahan ini, dan berharap hal ini dapat membantu meredam tingginya angka kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia.

Berbicara mengenai pelecehan seksual kepada anak, kita cenderung berpikir bahwa kejadian semacam itu hanya terjadi di tempat-tempat tertentu, lingkungan tertentu, dan melibatkan orang-orang dari kalangan tertentu saja, dan tidak mungkin terjadi di tengah-tengah kita, lingkungan kita, apalagi keluarga kita. Padahal kenyataannya, tindak pidana semacam ini dapat terjadi di mana saja, menimpa kalangan mana saja; bukan saja di kalangan dan institusi pendidikan, bahkan merambah ke kalangan dan institusi religius juga. Intinya, kita harus SELALU WASPADA.

Bukan hanya Pemerintah dan aparat hukum saja yang bertanggung jawab menjaga dan menjauhkan anak-anak bangsa ini dari ancaman predator seksual. Kita selaku anggota masyarakat, terutama para orang tua, justru berada di garda terdepan dalam menjaga anak-anak di dalam keluarga dan lingkungan terdekat kita sendiri, dan memastikan mereka aman dari jangkauan tangan-tangan jahat para maniak seks di luar sana. Di dalam tulisan ini akan dibahas lebih jauh langkah-langkah yang dapat kita ambil berkenaan dengan hal itu.

Yang terutama adalah mengajarkan si anak bagaimana menjaga dirinya sendiri, karena kita tidak mungkin bisa bersamanya sepanjang waktu. Hal paling mendasar yang patut diajarkan adalah dalam hal interaksi fisiknya dengan orang lain. Berhubung kasus-kasus pelecehan seksual yang banyak terjadi belakangan ini melibatkan orang dekat si anak sendiri, anggota keluarga, dan bahkan orang tua, maka kita tak bisa mengambil resiko mempercayakan si anak kepada orang-orang dekat kita sendiri saat kita hendak keluar rumah, misalnya; walaupun tak pada tempatnya juga kita menaruh curiga pada orang dewasa mana pun tanpa memandang bulu. Memperlengkapi si anak dengan kemampuan menjaga dirinya sendiri adalah opsi terbaik, termasuk kemampuan untuk mengenali apabila terjadi interaksi fisik yang tidak lazim, dan berinisiatif untuk melaporkannya. Berikut ini adalah hal-hal yang penting untuk Anda lakukan:

·       Ajari si anak mengenali tubuhnya sendiri. Tunjukkan dan sebutkan bagian-bagian tubuhnya (terutama organ vital, bagian yang bersifat pribadi) dengan nama sebenarnya, dan hindari menggunakan kata seperti “nenen”, “burung” dsb. Sebaliknya, ajarkan dia menggunakan kata “payudara”, “penis”, dan lain-lain istilah yang memang sudah baku. Ini untuk mempermudah dia menceritakan kepada orang lain apabila mengalami perlakuan tidak patut, dan menghindari salah penafsiran.

·       Ajarkan si anak mengenai batasan dalam hal sentuhan fisik. Beri dia pemahaman mengenai bagian-bagian tubuh tertentu yang tidak boleh disentuh sembarangan oleh orang lain, termasuk orang-orang dekat dan anggota keluarganya sendiri. Ini berlaku pada tubuhnya sendiri (sehingga dia tidak begitu saja membiarkan orang lain menyentuh tubuhnya) maupun tubuh orang lain (sehingga dia juga tidak sembarangan menyentuh tubuh orang lain). Ajari si anak menghormati tubuhnya sendiri dan  tubuh orang lain.

·       Ajarkan kepada si anak cara membedakan mana sentuhan yang termasuk pelecehan seksual dan mana yang bukan. Sentuhan pada bagian yang biasanya tertutup pakaian bisa masuk kategori itu (bahkan pada waktu si anak berpakaian lengkap), juga sentuhan yang diikuti perintah atau pesan supaya merahasiakan sentuhan itu dari orang lain, itu pun termasuk pelecehan seksual. Ajarkan kepada si anak supaya jangan segan melaporkannya, bila mereka mengalami sentuhan atau perlakuan tertentu yang membuat mereka merasa tidak nyaman.

·       Ajarkan si anak untuk tidak ragu menolak dan berkata “Tidak!” jika diperlakukan tidak semestinya oleh orang lain, misalnya jika orang tersebut mulai menyentuh bagian-bagian tubuhnya yang terlarang. Latih dia untuk segera lari atau berteriak sekencang-kencangnya jika ia merasa orang tersebut mulai memaksa.

·       Pastikan dan berikan jaminan kepada si anak bahwa mereka bebas untuk menceritakan apapun pengalaman mereka, khususnya yang membuat mereka merasa tidak nyaman. Yakinkan mereka bahwa bercerita dengan jujur mengenai apa pun merupakan hal yang benar, dan mereka tidak akan dimarahi atau dihukum untuk hal itu.

·       Buka mata si anak, berikan pemahaman bahwa pelecehan seksual bisa benar-benar terjadi dan memang terjadi, bahkan di lingkungan sekitarnya. Berikan kesadaran untuk melindungi bukan hanya dirinya sendiri, tapi juga teman-temannya atau kakak adiknya. Ajarkan apa yang harus dilakukannya bila ia mengetahui ada tindak pelecehan seksual yang terjadi, dan kepada siapa ia harus melapor.

Pastikan untuk mengajarkan hal-hal di atas berulang-ulang, karena seorang anak biasanya segera lupa apa yang baru diajarkan pertama kali. Ajarkan lagi dan lagi, hingga Anda yakin ia bisa mengingatnya dengan baik pada saat menghadapi situasi sebenarnya.

Selain memperlengkapi si anak dengan kemampuan menjaga dirinya sendiri, Anda sendiri sebagai orang dewasa, terutama jika Anda sebagai orang tua, harus berada di garis pertahanan terdepan dalam memberi perlindungan dan rasa aman kepada si anak, dan menjauhkannya dari kemungkinan mendapat pelecehan seksual. Berikut ini beberapa langkah yang dapat Anda lakukan:

·       Mewaspadai jika ada orang dewasa yang mulai memberi perhatian yang lebih kepada si anak, atau mencari kesempatan dan alasan untuk berdekatan dan berduaan saja dengan dia. Kebanyakan “penjahat seks” terlalu lihai untuk bisa dikenali sepak terjangnya, karena kebanyakan dari mereka adalah orang yang dikenal dekat oleh si anak dan keluarganya.

·       Sedapat mungkin jangan biarkan si anak berdua saja dengan seorang dewasa dalam jangka waktu lama. Ciptakan situasi di mana Anda dapat sering-sering mengawasinya, bahkan walau Anda tidak sedang di rumah bersamanya. Bahkan jika Anda merasa seseorang tertentu tidak membuat Anda nyaman, atau Anda mencurigainya, lebih baik jangan ambil resiko membiarkan dia bersama si anak berdua saja walau hanya sebentar.

·       Libatkan diri secara aktif dengan keseharian anak Anda. Ketahui secara pasti setiap rencana kegiatannya, dan siapa yang ikut terlibat dalam kegiatan itu. Jangan sampai Anda terlalu sibuk sehingga bahkan tidak mengetahui dengan siapa dia sehari-hari bergaul. Pelaku pelecehan seksual umumnya ragu-ragu mendekati seorang anak yang selalu dekat dan beraktivitas bersama orang tuanya.

·       Jika anak Anda aktif di media sosial, aktivitas online­-nya juga wajib Anda pantau. Dengan siapa saja ia kerap berinteraksi, dan siapa saja teman-temannya. Anda juga dapat ikut dalam daftar pertemanannya, jadi Anda dapat lebih leluasa memantaunya. Hanya jangan sampai terlalu menonjol, hingga anak Anda merasa tidak nyaman atau terganggu privasinya. Ikutlah berinteraksi, dan tampilkan diri Anda terang-terangan sebagai orang tuanya; dengan demikian calon-calon predator seksual yang mungkin tengah mengintai anak Anda secara online akan berpikir dua kali.

·       Pertimbangkan baik-baik sebelum memposting foto anak di media sosial, terutama yang dalam pose dewasa atau dengan berpakaian yang agak terbuka. Anda tidak pernah tahu berapa banyak predator seksual di luar sana yang mungkin melihatnya dan tertarik dan akhirnya menjadikan anak Anda calon korban berikutnya.

Sebaik-baiknya kewaspadaan dan sikap berjaga-jaga kita, ternyata tetap ada kemungkinan anak (atau anak-anak) yang di bawah pengawasan kita mengalami juga pelecehan atau tindak kekerasan seksual tanpa kita sadari. Namun, kita perlu peka terhadap tanda-tanda perubahan pada anak, baik secara fisik maupun dari segi perilaku. Tanda-tanda yang perlu kita waspadai antara lain:

·       Pada anak usia balita, ada tanda-tanda fisik antara lain memar pada alat kelamin atau pada mulut, terasa sakit pada waktu buang air kecil, sakit di kerongkongan tanpa sebab jelas (bisa mengindikasikan akibat oral sex). Juga tanda-tanda perubahan perilaku, antara lain ketakutan yang berlebihan khususnya pada orang atau tempat tertentu, menarik diri dari pergaulan, gangguan tidur, sering bermimpi buruk.

·       Pada anak usia pra-sekolah, tanda-tanda di atas disertai pula tanda-tanda perubahan perilaku seksual, antara lain minat dan pengetahuan yang tak wajar tentang seks, aktivitas seksual terang-terangan (seperti mencium atau memeluk) kepada teman atau saudara.

·       Pada anak usia sekolah, tanda-tanda di atas ditambah lagi dengan gangguan kemampuan belajarnya yang ditandai turunnya prestasi di sekolah, sulit berkonsentrasi, dan sering telat ke sekolah atau bahkan bolos; sulit percaya pada orang dewasa dan menghindari sentuhan fisik oleh siapa saja.

·       Pada anak usia remaja, masih ditambah lagi dengan hilangnya nafsu makan, depresi, berpikir untuk bunuh diri, melarikan diri ke bentuk-bentuk kenakalan remaja seperti penyalahgunaan narkoba dan alkohol, seks bebas, bahkan kehamilan dini.

Jika Anda mencurigai dari tanda-tanda perubahan ini bahwa si anak mungkin telah mengalami pelecehan seksual, terapkan langkah-langkah berikut ini:

·       Berhati-hatilah dalam menanyai anak. Kita tidak tahu seberapa besar trauma yang mungkin dialaminya seandainya pelecehan itu benar terjadi. Memintanya untuk menceritakan kembali secara persis peristiwa traumatik yang dialaminya mungkin dapat membawa dampak psikologis yang lebih buruk baginya.

·       Beri kenyamanan padanya lebih dahulu, dan yakinkan dia bahwa Anda (terutama bila Anda adalah orang tuanya) ada untuknya dan akan mendukungnya tanpa syarat, apapun yang akan diceritakannya. Tempatkan diri Anda sebagai temannya, bukan sebagai interogator yang semata-mata sedang mencoba mengorek informasi darinya.

·       Bersikap sabar. Jangan menanyainya secara langsung mengenai peristiwa pelecehan itu sendiri, tapi tanyai secara bertahap dan perlahan-lahan. Anda bisa tanyakan dahulu, “Pernah ada yang menyentuh kamu di sini (sambil menunjuk bagian tubuhnya yang dimaksud) nggak?” Kalau dia menjawab pernah, bisa Anda tanyakan selanjutnya di mana terjadinya. Setelah dia katakan lokasi kejadiannya, barulah Anda tanyakan kapan dan siapa pelakunya.

·       Bila perlu, bawa si anak untuk diperiksakan pada psikolog. Pastikan bagaimana kondisi kejiwaannya. Mungkin saja dengan pendekatan psikologis yang tepat oleh ahlinya, justru si anak bisa lebih terbuka untuk menceritakan kejadian yang menimpanya.

Apabila sudah diketahui bahwa pelecehan atau pemerkosaan sudah terlanjur terjadi, ini hal-hal penting yang harus diperhatikan:

·       Pastikan si anak selaku korban mendapat perhatian yang LEBIH dibanding si pelaku. Banyak orang tua atau sanak keluarga yang begitu mengetahui kejadian itu menjadi marah, dan langsung berinisiatif memburu si pelaku dan melaporkannya ke polisi. Hal itu juga penting, tapi dapat dilakukan kemudian. Yang pertama dan terutama adalah berusaha mengatasi trauma dan memulihkan kondisi si anak sesegera mungkin.

·       Bawa si anak secepatnya ke dokter untuk memastikan apakah tindak pelecehan yang dialaminya meninggalkan tanda-tanda kekerasan fisik pada tubuhnya atau tidak, dan tindakan medis apa yang dapat segera diambil. Selain itu, adanya bekas sperma atau tanda-tanda kekerasan yang masih relatif baru di tubuh korban dapat dijadikan bukti kuat dalam membawa si pelaku ke pengadilan.

·       Pastikan si anak juga memperoleh penanganan yang cepat dan tepat secara psikologis. Libatkan psikiater, konselor dan profesional lainnya dalam membantu pemulihan dari trauma yang dimilikinya. Tingkat trauma tiap anak yang mengalami pelecehan seksual berbeda-beda, tergantung karakter si anak, durasi dan frekuensi tindak pelecehan yang dialaminya, dan seberapa parah tindak pelecehan itu sendiri, apakah hanya sekedar rabaan, remasan atau bahkan lebih dari itu. Pastikan ia mendapat penanganan yang sesuai dengan tingkat traumanya.

Penerapan Hukum dalam Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak·       Ciptakan lingkungan di mana anak dapat tetap berinteraksi dan bersosialisasi dengan nyaman, di mana ia merasa tetap diterima dalam lingkungan pergaulannya, di mana ia tidak dipandang rendah atau tidak berharga. Ini penting untuk mempercepat pemulihan dari traumanya.

Demikian sekelumit mengenai bagaimana kita menyikapi ancaman pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak-anak di lingkungan kita. Pembahasan lebih jauh, dalam dan lengkap dapat Anda baca di buku Penerapan Hukum dalam Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak yang bukan saja membahas dari segi hukum, tapi berbagai aspek dari kekerasan seksual terhadap anak yang patut diketahui khususnya oleh para orang tua.

Akhir kata, jangan lengah dan jangan pernah lelah memantau dan mengawasi anak-anak kita, karena itu salah satu usaha nyata kita dalam membantu menyelamatkan generasi muda penerus bangsa ini.




Minggu, 11 September 2016

Boys For Sale -- Another Shift in Child Prositution

The nature of child prostitution in Indonesia has shifted to an even worse level. It began in early August, 2016, when investigators indicated the existence of a network trading underage boys to gay men using a Facebook account named “Brondong" (local slang for “teens” or “youth”). Pictures of those boys were displayed there each with his name and a special code, indicating his sexual “role” in the gay relationship. For the next several weeks, the police cyber patrol unit monitored the suspect’s online activity, attempted to have communication, and set up transaction.

The under-cover police agents pretending to be customers ordered six boys from the suspect, initialed AR, 41, who then asked for half the prize as down payment, IDR 1.2 million for each boy. The money was transferred to AR’s bank account, and it was followed up with face-to-face encounter in a hotel, considered safe enough for such encounters, around 2 p.m.

And that’s it for AR’s career. He was arrested on the spot, and along with the suspect, the police secured seven victims, namely six underage boys, 13-15 in average, and an 18-year old juvenile male. AR is charged with multiple clauses, with maximum penalty of 12 years in prison.

Most of the victims are from poor families, and still going to school – supported by a finding of school uniform in a victim’s bag. Some of the victims, when interviewed, said they already “enjoyed” the deviant activity, while others are still shy or in doubt, according to the police. The victims also underwent health checkup, screened for any sexual-related disease. They will also go through mental and psychological rehabilitation.

Beside those seven victims, apparently much more children are being offered through AR’s Facebook account, in total about 99 were discovered at the first investigation. These children are still living with their families, and would be contacted and summoned by AR when needed. Out of the IDR 1.2 million for each, a victim only receives about IDR 100,000 – IDR 200,000 for every short-time service.

Investigators were sure there was more than one suspect acting as pimps. After further investigations, other suspects were found, initialed U and E; the previous also a pimp, while the latter a user of child prostitution service, recruiter, and provider of bank account to collect all the crimes’ money. Number of victims are also added up to 148. Users of the children’s “service” are also likely to be charged with Children Protection Law. Whether these users are foreigners or domestic tourists is still under investigation.

This is not the first time for AR to be charged on human trafficking crimes. Previously, he traded females, and sentenced to 2.5 years in prison for it. The fact that now he was trading boys after released five months earlier, the police says, is “an extraordinary aberration”. He has been running his last illegal business for about a year, usually offering the boys to foreigners through Facebook and other social sites.

AR was known to be an introvert person, rarely socializing with the neighbors, said the owner the boarding house where AR was living for the last three months. Yet, he managed to easily invite school boys in his neighborhood into his illegal business, enticing them with huge amount of money and giving them cellphones as communication devices, in exchange of joining his “business”, namely giving sexual services to male adults. He used to bring in boys to his room around noon, the boarding house owner added. He did gather boys in there every two days, probably in preparation before transactions, said the local village chief. A box full of condoms and a schoolboy were found when police searched his room after the arrest.

Indonesia’s Minister of Social Affairs said, this is the first case of gay sexual exploitation ever in Indonesia. She calls for parents to look after their children more carefully, especially from hedonistic and consumptive lifestyle which can easily entrap them into such practice. Precautions include the parents themselves accustoming to latest technology, since the practice of “recruiting” the children is mostly through their own gadgets.

Child Protection Commission chairman, Asrorun, also said that close attention should be paid to prevailing gay communities including those specially intended for the underage. “These (gay communities) are well-organized,” he said, “And must be uncovered.” Revealing of this case, he added, should be made a momentum and broadened to dealing with other kinds of sexual crimes toward children.

This case clearly indicates that child prostitutions today is not limited to girls only, but expanded already to boys as well. In fact, according to a survey by the Ministry of Women Empowering and Children Protection in 2014, boys are twice as likely to get sexual and physical abuse as girls. The dominant culture which demands males to be strong and tough, is proven harmful, because sexually abused boys rarely report to the authority. As for victimized boys in Indonesia, the minister mentioned 3,000 as the reported number. It was a small number, she added, due to most victims being reluctant to make reports.

This makes strong demand for immediate legalization of the new sexual abuse law even more intense. The new law authorizes castration as an alternative way to prevent sexual abuse to children. Unfortunately, one fraction in the parliament rejected this legislation, reasoning that it lacks technical details on how to implement the castration. Other fractions supporting the legislation, however, argued that the following implementing regulation of the new law will deal with the technical details, not the law itself. Another argument says that not all sexual child abusers will be castrated. Only those with the testosterone level between 600-1,000 nanograms are subjected to castrations. Hopefully, this measure will significantly reduce the rate of sexual abuse to children.
According to the police, sexual crimes against children nowadays tend to decrease quantitatively, but increase qualitatively. This should be another alarm to all of us.

Meanwhile, the gay behavior itself seems to have expanded beyond the boundaries of age.  It was reported that an 8-year old girl was arrested in Uganda, allegedly for being a “lesbian”.  She was caught necking with her girlfriend, only days after a “gay pride” parade was halted by police. Gay behavior has been deemed a criminal act by Uganda government since then.

The arrest followed an eyewitness report accusing the girl of “having romantic relationship” with her peer, often taking her to a nearby ranch to commit such act. Investigations are now extended to adults surrounding her life to find out whether any of them has had bad influence on her. There was no explanation of why only that one girl was arrested, while her girlfriend was not.

Uganda’s Minister of Ethics and Integrity emphasized his government’s stance on homosexuality, that it is committed to fight the illegal practice. This was met with angry reaction by LGBT activists in that country.

This one single case could have been just the tip of an iceberg. Wondering where in the world this could lead us further to?



Selasa, 30 Agustus 2016

RAISING CIGARETTE PRICE : BUDGETARY INCOME VS NATION'S HEALTH

The discourse of raising the price of cigarettes to IDR 50,000 came up in public following a recent study by the University of Indonesia’s Public Health Faculty, which found out a link between cigarette’s price-setting and the number of smokers. About 72% out of 1,000 respondents said they will quit smoking if cigarette’s price is to double the current price or more. The idea of increasing cigarette price to IDR 50,000 is conceived according to analysts’ calculation following the survey, setting it as the ideal price to keep school children and the poor away from cigarette consumptive behavior.
Parliament Chief Ade Komaruddin is in accord with raising cigarette price up to IDR 50,000 as it will diminish people’s tendency to smoke cigarettes, and he even calls cigarettes the “enemy of the nation”.
Even Susi Pudjiastuti, Minister of Fishery and Marine Affairs, responded positively to the discourse of raising the price of cigarettes to IDR 50,000. She said it will give positive impact to people’s health. This female minister is known to be a cigarette smoker herself. Nonetheless, she said a rise in cigarette’s price will give her a good reason to decrease her own cigarette’s consumption, “for the sake of economizing and health.”
The less positive response came from, as you can rightly guess, cigarette-producing companies. One of the most prominent cigarette companies in Indonesia, PT HM Sampoerna Tbk, said in a statement that drastic price increases or excessive rise in taxes is not advisable. Rather, there needs to be a comprehensive evaluation on all linked elements in cigarette industrial chain including tobacco farmers, factory workers, sellers, and consumers. Cigarette tax rising too high will in turn boost cigarette price, exceeding the populace’s purchasing power.
Despite the Parliament Chief’s explicit approval on the price increase, another contradictory notion came from his colleague in the House of Representatives. The Parliament’s 9th Commission member Muhammad Misbakhun said such increase in cigarette price will potentially reduce sales, and consequentially the budgetary income. Currently, IDR 150 trillion goes to state’s budget from tax alone, 98% of which comes from cigarette tax. Such big portion of tax income being shaken by reduction of cigarette sales is surely not a small thing, argued Mr. Misbakhun. He called for the government to seriously re-examine the plan to increase cigarette price.
Ministry of Trade is still not decisive on the planned increase of cigarette tax, nor on how much impact it will have on cigarette price. The government said cigarette tax is always reviewed each year, taking into consideration several indicators such as economic conditions, demand on cigarettes and cigarette industry growth. The proposed raise of cigarette’s price to IDR 50,000 is also currently being evaluated, particularly the adjustment of cigarette tax as one of cigarette’s price forming element. Minister of Finance Sri Mulyani said that the exact number of increase will be adjusted to the 2017 Budgetary Planning currently under discussion and will be consulted with all involved stakeholders. The government has set the target of budgetary revenue from tobacco product taxes in 2017 to IDR 149.88 trillion, 5.78% up from 2016 targeted revenue.
Current cigarette price of about IDR 20,000 or less is believed to be the main cause of significantly high number of smokers in Indonesia, as cigarettes are affordable even for people living under poverty line, and consumed by people of nearly all ages, even elementary school children. Other factors are massive advertising of cigarettes and lack of government control over cigarettes’ circulation. Professor Hasbullah Thabrany, who headed the institution running the survey, said Indonesia is currently the “world champion” in cigarette consumption, having about 34-35% of his total population as active smokers.
Anhari Achadi, a senior lecturer in University of Indonesia’s Public Health Faculty, added that the discourse of cigarette price double increase is aimed at saving young generations from all sorts of disease caused by smoking. Such diseases like diabetes, heart disease, impotency, etc., cause young people lose their health and productivity. It is also aimed at preventing young people to become active smokers.
It is not only a matter of now, Achadi said, but a matter of decades ahead. Smoking, due to its health-destructing nature, potentially steals qualified and productive citizens from this nation’s future. Though the price increase is only instrumental and doesn’t immediately cause all smokers, especially the addict, to quit smoking, the main message conceived within this discourse is to prevent our future generations to become smokers, he concluded.
In almost any public room, you can see “No Smoking” signs. No surprise, actually, if you remember all bad effects of smoking on your health. The fact is, about 20% of heart attack mortalities are directly linked to smoking habits.
One single cigarette contains no less than 4000 chemicals. Hundreds of them are toxic, and about 70 of them are cancerous. Carbon monoxide, for example, binds itself permanently at blood’s hemoglobin, thus blocking oxygen transporting to the body, causing you to be easily exhausted. Another toxic substance is tar, which, when inhaled into your lungs, will disrupt the performance of tiny hair which covers the lungs and functions to expel bacteria and other stuffs out of the lungs.
Cigarettes also contain oxidant, which chemically reacts with oxygen, causing blood clotting and thus heightening the risk of stroke and heart attack. Even worse, they contain benzene, a substance used to be added to petroleum fuels. It has potential to cause genetic defect to body cells, and even linked to various kinds of cancer like kidney cancer and leukemia.
Not yet even mentioning substances like arsenic, typically used in pesticides; toluene, found in paint thinner; formaldehyde, a substance for preserving human corpses; hydrogen cyanide, used in chemical weapons production; cadmium, a substance for making batteries; 1.3-Butadine, used in rubber production, etc.
The most well-known bad substance contained in cigarettes is nicotine. This alkaloid substance lessens oxygen absorbency into the blood, speeds up heartbeat, raises blood pressure, damages the heart’s blood vessels and hastens blood congealing which can easily lead to heart attacks. Smokers are two to four times more likely to experience heart attacks, and the risk is even higher for female smokers who take contraceptive pills.
The risk of getting stroke is also raised about 50% for active smokers, beside possibility to get brain aneurysm, i.e. excessive enlargement of artery, which can break at any moment and lead to cerebral stroke. Your mouth, throat, lips and vocal cords have also heightened risk of getting cancer.
Among all, lungs cancer is the most perilous disease you may get with smoking, as chemicals in cigarette have potential to damage lung cells and thus forming cancer cells. In fact, about 90% of all lung cancer-related deaths are caused by smoking.
Other disastrous diseases you risk to get are bronchitis, pneumonia, and emphysema, which causes difficulty to breath. And, uh, have I mentioned stomach cancer, osteoporosis, premature aging of skin, cataract, and breakdown of reproduction system?
It’s no surprise that smoking-related deaths each year even exceed all deaths caused by AIDS, drug abuse, alcohol abuse, traffic accidents and crimes combined.
Even the smoke produced by cigarette is no less harmful to those exposed to it. Pregnant women who inhale cigarette smoke have risks of premature childbirth and having low-weight babies. Actually, female active smokers with pregnancy have exactly the same risks.
With such gloomy prospect of the citizens’ health status in connection with smoking habits, the discourse of raising cigarette’s price is apparently not a bad idea. Of course, those arguing that unhindered cigarette sales will give significant amount of cigarette tax money to the state’s budgetary income seem to make sense. The problem is, have they also calculated the possible spending generated by all medical treatments and rehabilitation programs to patients directly or indirectly victimized by cigarette smoking? Could there be a risk of over-spending, which would ultimately harm the state’s budget after all?